Pengolahan buah nyamplung menjadi
bioenergy sebagai bahan alternatif pengganti minyak solar, mati suri. Proses
produksi belum dikatakan mati, namun proses di lapangan tidak ada. Mesin
peralatan sebagian mangkrak, sebagian tidak dapat dipergunakan karena rusak.
Padahal keberadaannya diharapkan untuk mendorong mewujudkan Desa Mandiri Energi
(DME).
Untuk mencari akar permasalahan
dan mencari solusinya, Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan (Pusdal)
regional II, menyelenggarakan rapat koordinasi evaluasi pengembangan biofuel
nyamplung. Rakor di dipimpin staf ahi Mentri Kehutanan RI bidang Hubungan Antar
Lembaga Prof Dr Ir San Afri Awang MSc, Selasa (4/6), di aula salah satu hotel
di Purworejo.
Hadir pada acara tersebut, Bupati
Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kahutanan, PT Perhutani Jawa Tengah, pengelola desa mandiri energi dari
Kabupaten Banyuwangi, Cilacap, Kebumen dan Desa Patutrejo Kecamatan Grabag.
Rakor antara lain diisi paparan dari Kapusdal Regional II, Kapuslitbang, dan
ketua kelompok tani Jarak Lestari Desa Patutrejo.
Bupati Mahsun pada kesempatan
tersebut mengungkapkan bahwa, proses produksi buah nyamlung untuk menghasilkan
bioenergi di Desa Patutrjo Kecamatan Grabag, seakan mati suri. Kegiatan proses
produsksi tidak ada, namun gedung serta peralatan masih ada.
Peresmiannya waktu itu dihadiri
Menteri Kehutanan dan Gubernur Jawa tengah. Kemudian, lanjutnya, beberapa waktu
lalu pernah dilakukan road test kendaraan dengan menggunakan minyak nyamplung
sebagai pengganti minyak solar. Waktu itu menempuh perjalanan dari Purworejo-Cilacap-Semarang
hingga Yogyakarta. “Kegiatan tersebut sempat diberitakan oleh berbagai media
masa, sehingga Purworejo menjadi terkenal dengan produksi minyak nyamplung,”
ungkapnya.
Namun kenyataannya saat ini,
proses produksi tidak berjalan lagi. Disisi lain, Purworejo memiliki luas arel
tanaman nyamplung 5.000 hektar lebih. Dari luas tersebut 5.000 hektar
diantaranya berupa hutan yang dikelola Perum Perhutani, sisanya milik
masyarakat.
Menurutnya pengembangan bioenergi
berbahan baku minyak nyamplung, merupakan slah satu jawaban atas tiga
kekhawatiran dunia. Ia mengutip pernyataan Presiden SBY, bahwa ada tiga
kekhawatiran dunia, salah satunya kekhawatitan kekurangan minyak dan gas. Untuk
itu ia berharap agar kedepan ditemukan jalan keluar, hingga proses produksi
bisa berjalan kembali. Pada kesempatan tersebut, ia minta kepada pihak
Perhutani agar bersedia mengalokasikan dana kepedulian sosialnya (CSR) untuk
pengembangan tersebut.
Staf ahli Mentri Kehutanan San
Afri Awang, pada kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa terkait hal itu,
pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Namun kenyataan di lapangan ternyata
tidak berjalan. Hal itu menunjukkan ada masalah apa didalamnya. Apakah
dari segi permesinan, SDM, permodalan, atau kelembagaan.
Ia mengakui, bila menyangkut
kelembagaan, kelemahannya karena sering berpikir sektoral. Padahal bila
berbicara energi, kebutuhan akan hal ini sangat besar. Bahkan pemerintah harus
mengeluarkan anggaran untuk subsidi hingga Rp 200 trilyun.
Ia optimis, bila energi di masyarakat
bisa digerakkan, target pendapatan perkapita dari U$ 15.000 menjadi U$
45.000 bisa tecapai. Ia mengakui proses produksi bioenergi berbahan baku buah
nyamplung di Indonesia hampir sama dengan yang ada di Purworejo. Di Indonesia
ada lima pabrik, yaitu di Banyuwangi, Makasar, Ujung Kulon, Cilacap dan Desa
Patutrejo Kecamatan Grabag.