Sabtu, 08 Juni 2013

Pabrik Pengolahan Minyak Nyamplung Mati Suri

Pengolahan buah nyamplung menjadi bioenergy sebagai bahan alternatif pengganti minyak solar, mati suri. Proses produksi belum dikatakan mati, namun proses di lapangan tidak ada. Mesin peralatan sebagian mangkrak, sebagian tidak dapat dipergunakan karena rusak. Padahal keberadaannya diharapkan untuk mendorong mewujudkan Desa Mandiri Energi (DME).

Untuk mencari akar permasalahan dan mencari solusinya, Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan (Pusdal) regional II, menyelenggarakan rapat koordinasi evaluasi pengembangan biofuel nyamplung. Rakor di dipimpin staf ahi Mentri Kehutanan RI bidang Hubungan Antar Lembaga Prof Dr Ir San Afri Awang MSc, Selasa (4/6), di aula salah satu hotel di Purworejo.

Hadir pada acara tersebut, Bupati Purworejo Drs H Mahsun Zain MAg, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kahutanan, PT Perhutani Jawa Tengah, pengelola desa mandiri energi dari Kabupaten Banyuwangi, Cilacap, Kebumen dan Desa Patutrejo Kecamatan Grabag. Rakor antara lain diisi paparan dari Kapusdal Regional II, Kapuslitbang, dan ketua kelompok tani Jarak Lestari Desa Patutrejo.

Bupati Mahsun pada kesempatan tersebut mengungkapkan bahwa, proses produksi buah nyamlung untuk menghasilkan bioenergi di Desa Patutrjo Kecamatan Grabag, seakan mati suri. Kegiatan proses produsksi tidak ada, namun gedung serta peralatan masih ada.

Peresmiannya waktu itu dihadiri Menteri Kehutanan dan Gubernur Jawa tengah. Kemudian, lanjutnya, beberapa waktu lalu pernah dilakukan road test kendaraan dengan menggunakan minyak nyamplung sebagai pengganti minyak solar. Waktu itu menempuh perjalanan dari Purworejo-Cilacap-Semarang hingga Yogyakarta. “Kegiatan tersebut sempat diberitakan oleh berbagai media masa, sehingga Purworejo menjadi terkenal dengan produksi minyak nyamplung,” ungkapnya.

Namun kenyataannya saat ini, proses produksi tidak berjalan lagi. Disisi lain, Purworejo memiliki luas arel tanaman nyamplung 5.000 hektar lebih. Dari luas tersebut 5.000 hektar diantaranya berupa hutan yang dikelola Perum Perhutani, sisanya milik masyarakat.

Menurutnya pengembangan bioenergi berbahan baku minyak nyamplung, merupakan slah satu jawaban atas tiga kekhawatiran dunia. Ia mengutip pernyataan Presiden SBY, bahwa ada tiga kekhawatiran dunia, salah satunya kekhawatitan kekurangan minyak dan gas. Untuk itu ia berharap agar kedepan ditemukan jalan keluar, hingga proses produksi bisa berjalan kembali. Pada kesempatan tersebut, ia minta kepada pihak Perhutani agar bersedia mengalokasikan dana kepedulian sosialnya (CSR) untuk pengembangan tersebut.

Staf ahli Mentri Kehutanan San Afri Awang, pada kesempatan yang sama mengungkapkan bahwa terkait hal itu, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Namun kenyataan di lapangan ternyata tidak berjalan. Hal itu menunjukkan ada masalah apa  didalamnya. Apakah dari segi permesinan, SDM, permodalan, atau kelembagaan.

Ia mengakui, bila menyangkut kelembagaan, kelemahannya karena sering berpikir sektoral. Padahal bila berbicara energi, kebutuhan akan hal ini sangat besar. Bahkan pemerintah harus mengeluarkan anggaran untuk subsidi hingga Rp 200 trilyun.

Ia optimis, bila energi di masyarakat bisa digerakkan, target pendapatan perkapita dari  U$ 15.000 menjadi U$ 45.000 bisa tecapai. Ia mengakui proses produksi bioenergi berbahan baku buah nyamplung di Indonesia hampir sama dengan yang ada di Purworejo. Di Indonesia ada lima pabrik, yaitu di Banyuwangi, Makasar, Ujung Kulon, Cilacap dan Desa Patutrejo Kecamatan Grabag.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berlanggan artikel Blogtegal via e-Mail